Powered By Blogger

Tuesday, September 17, 2013


SERUMPUN BAMBU SEJUTA MAKNA

DI KABUPATEN SLEMAN

















Oleh: Lies Trianadewi, S.Sos, M.AP, M.Agr
(Pengendali Ekosistem Hutan-
Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo)



Pendahuluan


Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110° 33′ 00″ dan 110° 13′ 00″ Bujur Timur, 7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang Selatan. Letak Kabupaten Sleman ini sebagian besar wilayahnya berada di hulu yang sangat penting berfungsi sebagai daerah tangkapan air (kawasan resapan air) yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan. Namun, data statistik Kabupaten Sleman menunjukkan terjadi konversi lahan pertanian cukup tinggi yang diimbangi dengan pertambahan jumlah penduduk dan luas areal terbangun. Pada tahun 1987 luas lahan pertanian sebesar 26.493 hektar dan pada tahun 2007 turun menjadi 23.062 hektar. Kondisi tersebut berbeda dibandingkan dengan jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan sebanyak 730.889 jiwa di tahun 1987 naik menjadi 1.026.767 jiwa di tahun 2007 (Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, 2012).

Di sisi lain, wilayah Kabupaten Sleman ini terdapat 24.098,677 ha lahan potensial kritis dan 145,376 ha lahan sangat kritis yang harus segera ditangani (BP DAS SOP, 2009). Dan menurut Bupati Sleman, Sri Purnomo, situasi sejumlah sungai di Sleman kini dalam kondisi pencemaran berat bahkan 20% kawasan resapan air di Sleman juga hilang (21/06/2013).

Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo bertanggungjawab dalam formulasi program rehabilitasi sumberdaya DAS untuk perbaikan mutu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Program penanaman bambu di Kabupaten Sleman merupakan salah satu kegiatan penting dalam pelaksanaan tugas tersebut. Berdasarkan inventarisasi data tahun 2012, budidaya bambu di Sleman cukup luas yaitu 528 ha dengan populasi 21.075 rumpun dan 733.545 batang. Adapun komposisi bambu yang ada di Sleman tersebut adalah Petung 20%, Apus 35%, Ampel 30%, Wulung 5%, dan Trutul, Cendani dan Kuning 15%.

Populasi dan Produksi Tanaman Bambu di Kabupaten Sleman Tahun 2012
Kecamatan
Luas (Ha)
Populasi (rumpun)
Produksi (btg)
Keterangan
Pakem
50
1.525
181.200
Komposisi:
Berbah
25
1.160
61.250
Petung: 20%
Gamping
15
960
29.150
Apus: 35%
Cangkringan
70
1.000
133.550
Ampel: 30%
Prambanan
30
1.250
35.250
Wulung: 5%
Turi
40
1.080
78.750
Trutul, Cendani,
Minggir
30
1.160
35.150
dan Kuning: 15%
Moyudan
35
1.220
33.100

Seyegan
25
1.675
26.150

Tempel
35
1.270
15.150

Godean
25
1.520
19.500

Kalasan
30
1.600
16.750

Ngaglik
25
1.215
14.725

Ngemplak
33
1.640
11.200

Depok
10
400
5.120

Sleman
25
830
12.950

Mlati
25
1.570
24.600

Jumlah
528
21.075
733.545

Data: Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman, 2012

Bambu sebagai hasil hutan bukan kayu  (HHBK) sangat  potensial  untuk  mensubstitusi kayu  bagi  industri berbasis bahan baku kayu. Bambu mempunyai prospek yang cukup menjanjikan untuk menekan kebutuhan kayu yang semakin hari standing stock-nya semakin berkurang di hutan. Pengurangan  kayu  sebagai  sumber  bahan baku untuk industri berbasis bahan baku kayu dapat meningkatkan kualitas kayu dan lingkungan hutan. 

Selain berpotensi sebagai bahan substitusi kayu, penggunaan bambu tergolong ramah lingkungan karena ditanam sekali, dipanen berkali-kali tanpa harus menghilangkan seluruh tegakan rumpunnya. Sumber bahan baku bambu untuk industri berbasis bahan baku bambu tidak dapat mengandalkan dari bambu rakyat dan bambu dari hutan alam.

Nilai Sosial Ekonomi dan Budaya Tanaman Bambu di Sleman

Bagi masyarakat di pedesaan yang selama ini membudidayakan tanaman bambu memiliki anggapan bahwa tanaman bambu selain sebagai barang ekonomis juga bernilai konservasi yang dapat mendukung ketahanan ekonomi keluarga (investasi).

Data terakhir pada tahun 2010 dari Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa Sleman terdapat 15 sentral usaha industri kecil bambu dengan jumlah 1.759 unit usaha kerajinan bambu yang terkonsentrasi di wilayah di Kecamatan Minggir, Moyudan, Mlati, dan Godean. Industri ini menyerap 3.715 tenaga kerja dengan nilai investasi lebih dari Rp.10 miliar dan nilai produksi sekitar Rp. 13 miliar.

Tidak hanya memenuhi pasar lokal, sebagian pengrajin juga memenuhi permintaan ekspor ke berbagai negara seperti di negara Malaysia, Jepang, Australia, dan Amerika. Dalam setahun, kebutuhan bambu rata-rata mencapai 817.860 batang, namun kapasitas produksi yang ada tidak mampu memenuhi permintaan tersebut.

Produksi bambu di Sleman digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan, diantaranya: (1) kerajinan, (2) bahan bangunan, (3) furnitur, (4) pangan, dan (5) upacara adat.

Bagi warga Sleman, menganyam bambu merupakan keterampilan yang diwariskan turun menurun dan hingga kini masih dilestarikan. Dahulu warga hanya membuat ‘ceting’/ tempat makan, namun sejak tahun 1991 warga Sleman semakin serius menekuni kerajinan bambu. Dan lahirlah berbagai aneka kerajinan bambu yang unik dan menarik seperti lampu, tempat tisu, suvenir, hiasan dinding, dll.

‘Labuhan’ Merapi (Persembahan Merapi) merupakan upacara adat yang disakralkan masyarakat Yogyakarta dan di sekitar Gunung Merapi yang terletak di Sleman. Pada upacara ini bambu berperan untuk digunakan sebagai alat untuk tempat bunga sesaji,membuat gunungan yang berasal dari hasil bumi seperti buah-buahan, sayur-sayuran dll.

Beberapa bagian dari tanaman bambu dapat dipergunakan untuk berbagai kebutuhan. Bahkan limbah bambu yang biasanya hanya digunakan untuk bahan bakar, mulai tahun 2009 beberapa kelompok masyarakat yang berada di Sleman mengolah limbah bambu tersebut menjadi arang yang mempunyai nilai ekonomi menggiurkan. Sebagai contohnya adalah kelompok Omah Areng yang berada di dusun Kamal Kulon Margomulyo Sayegan Sleman.

Bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada,semua manfaat arang bambu sudah teruji secara ilmiah pada uji laboratorium.Arang bambu tersebut bisa menetralkan bau ruangan, termasuk kamar mandi, menghilangkan bau apek pada lemari pakaian, menetralisir bau pada kulkas, menambah kandungan mineral pada air, membuat pulen nasi, menyerap bau rokok di dalam ruangan serta mengurangi radiasi pada alat-alat elektronik seperti komputer dan televisi.


Peranan Budidaya Bambu di Sleman dalam Konservasi Lingkungan

Tanaman bambu ini secara umum sangat efektif untuk reboisasi wilayah hutan terbuka atau gundul akibat penebangan karena pertumbuhan rumpun bambu yang sangat cepat dan toleransinya terhadap lingkungan sangat tinggi serta memiliki kemampuan memperbaiki sumber tangkapan air sangat efektif. Sehingga pada pasca erupsi Merapi 2010, penanaman pohon bambu dilakukan guna mendukung konservasi lingkungan.

Disisi lain, masyarakat di sekitar gunung Merapi tersebut mempunyai keyakinan bahwa apabila mendengar bunyi pohon bambu pecah, hal tersebut merupakan pertanda batang pohon tidak kuat menahan beban abu vulkanik, dan kondisi tersebut dapat dipastikan Gunung Merapi dalam keadaan kritis dan awan panas atau yang sering disebut wedhus gembel siap meluncur.

Akar-akar bambu, selain sebagai penahan erosi guna mencegah bahaya kebanjiran, juga dapat berperan dalam menangani limbah beracun akibat keracunan merkuri dengan cara menyaring air yang terkena limbah tersebut melalui serabut-serabut akarnya. Selain itu, akar bambu juga mampu melakukan penampungan mata air sehingga bermanfaat sebagai sumber penyediaan air sumur.

Peranan BP DAS Serayu Opak Progo Untuk Meningkatkan Budidaya Bambu di Sleman

Mulai tahun 2013, BP DAS Serayu Opak Progo (BP DAS SOP) bekerjasama dengan dinas terkait di Sleman melaksanakan Pengembangan Bambu seluas 30 hektar dengan pembuatan demplot di lahan milik masyarakat melalui ekstensifikasi dan/atau intensifikasi. Dan melalui Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan tahun 2014 telah dialokasikan pengembangan hutan rakyat bambu sebanyak 15.000 batang. Selain itu, ruang lingkup peran BP DAS SOP dalam pengembangan bambu tersebut meliputi (1) sosialisasi, inventarisasi dan perencanaan, (2) pengembangan kelembagaan budidaya dan industri bambu melalui peningkatan SDM kelompok tani hutan rakyat bambu, pengrajin bambu dan para pihak terkait, (3) pengembangan industri dan penerapan teknologi pengolahan bambu dalam skala kecil, menengah dan besar.

Dengan adanya inisiasi Gerakan Kebangkitan Bambu Nusantara (GKBN) yang digelar pada pertemuan pertama di Taman Wisata Candi Borobudur pada tanggal 6 Juni 2012, pertemuan tersebut disepakati untuk menjadikan momen Hari Bambu Sedunia (World Bamboo Day) yang diperingati setiap tanggal 18 September sebagai momentum awal dmulainya Gerakan Moral untuk ‘Kebangkitan Bambu Nusantara’. Bertitik tolak dari inisiasi GKBN tersebut, maka BP DAS SOP sudah memiliki kerangka pikir untuk menyusun Roadmap pengembangan bambu di wilayah fasilitasi BP DAS SOP termasuk di Sleman.

Untuk membawa ‘Roh’ Kebangkitan Bambu Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ke tingkat Nasional akan diselenggarakan Kongres Nasional GKBN pada tahun 2013. Kongres ini diharapkan akan membangkitkan semangat pengembangan bambu di luar DIY yang pada akhirnya bisa menuju pada Kebangkitan Bambu Nusantara.

Penutup
Menilai hasil kegunaan dan manfaat bambu di atas, bambu terbukti memiliki banyak keunggulan, manfaat dan potensi yang sangat baik untuk dibudidayakan. Jika budidaya tanaman bambu benar-benar diperhatikan, serta pemanfaatannya dimaksimalkan, akan mampu mendongkrak nilai ekonomis bambu itu sendiri, sekaligus meningkatkan penghasilan masyarakat pengguna bambu serta menambah devisa buat negara.

Edukasi bagi masyarakat dibutuhkan untuk optimalisasi pemanfaatan bambu yaitu dengan teknologi tinggi dan peningkatan keterampilan pengrajin. Diharapkan dengan adanya peran dari BP DAS SOP dan instansi terkait dalam pengembangan bambu tidak hanya berakhir menjadi sebuah furniture, tetapi dapat dikembangkan menjadi produk lain (misalnya pulp, kertas, papan serat, dan asap cair). Dengan demikian peran bambu selain dapat untuk mendukung konservasi lingkungan, bambu juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.***LTD***

Tuesday, May 14, 2013

Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Bribin







FGD Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Bribin
-Menuju Langkah Perubahan Pengelolaan DAS Terpadu-
 Oleh: Lies Triana Dewi, S.Sos, M.AP, M.Agr

Rendahnya daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia sebagai suatu ekosistem merupakan salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam yang terkait dengan air (water related disaster). Rendahnya daya dukung DAS dapat diatasi dengan mengelola DAS secara Terpadu. Pengelolaan DAS harus melibatkan pemangku kepentingan pengelolaan sumberaya alam yang terdiri dari unsur-unsur masyarakat dunia usaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan pengelolaan DAS memerlukan perencanaan yang komprehensif yang mengakomodasikan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam suatu DAS, dalam hal ini DAS Bribin.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu Opak Progo, Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu Daerah Aliran Sungai Bribin (FGD Penyusunan RPDAS Terpadu DAS Bribin) pada hari Senin tanggal 13 Mei 2013 di Ruang Rapat Barat Bappeda Kabupaten Gunungkidul. FGD Penyusunan RPDAS Terpadu DAS Bribin yang dilaksanakan di Bappeda Kabupaten Gunungkidul ini dihadiri oleh 30 orang terdiri dari beberapa unsur pemerintahan Kabupaten Gunungkidul dan kelompok masyarakat seperti Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Sekretariat Daerah, Himpunan Pengusaha dan Masyarakat Pertambangan Gunungsewu Sejahtera, Asosiasi Pengusaha Kehutanan, Green Network, Bina Manfaat Bidang Pengairan Dinas Pekerjaan Umum, Subbidang Pertanian dan Kelautan Bappeda, dan juga beberapa tim pakar dari Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, diwakili oleh Andre, S.Si, M.Si.

FGD Penyusunan RPDAS Terpadu DAS Bribin ini merupakan tindak lanjut dari sosialisasi RPDAS yang diselenggarakan pada tanggal 26 Februari 2013 di ruang rapat Bappeda. Adapun maksud diadakan FGD Penyusunan RPDAS Terpadu DAS Bribin ini adalah untuk menggali atau mengumpulkan permasalahan yang ada di DAS Bribin sebanyak-banyaknya, sehingga akan mudah menentukan tujuan dan kegiatan apa saja yang harus dilakukan untuk mengatasi segala permasalahan yang ada di DAS Bribin. Selain itu juga dapat ditentukan strategi apa saja yang dapat ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut. 

Dalam FGD Penyusunan RPDAS Terpadu DAS Bribin ini Pengantar disampaikan oleh Kepala Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo, diwakilkan oleh Kepala Seksi Program DAS BP DAS SOP, Narjan, SE, M.Si yang menyatakan bahwa dalam RPDAS Terpadu DAS Bribin ini diharapkan agar rumusan rekomendasi berhasil baik, dengan menggali permasalahan kondisi DAS Bribin yang ada. Kemudian dengan permasalahan tersebut, maka akan dengan mudah untuk membuat perencanaan dalam mengatasi permasalahan tersebut. FGD Penyusunan RPDAS Terpadu DAS Bribin ini juga disambut baik oleh Kepala Bappeda Kabupaten Gunungkidul, dalam hal ini diwakili oleh Kepala Bidang Perekonomian Bappeda Kabupaten Gunungkidul, Dra.Mahartati, M.T., menyatakan bahwa pihak-pihak yang duduk dalam tim ini dapat memberikan masukan untuk merumuskan permasalahan secara komprehensif sehingga memenuhi prinsip-prinsip konservasi. Perwujudan langkah Penyusunan RPDAS Terpadu DAS Bribin ini dibuktikan dengan disahkannya Keputusan Bupati Gunungkidul Nomor 52/KPTS/TIM/2013 tanggal 8 April 2013 Tentang Pembentukan Tim Penyusun Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu Daerah Aliran Sungai Bribin. 

Dalam rangka penyusunan RPDAS Terpadu DAS Bribin ini, Andre, S.Si, M.Si menjelaskan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada di DAS Bribin terbagi ke dalam 3 aspek kategori yaitu aspek biofisik, sosial ekonomi budaya dan kelembagaan. Dan berikut hasil diskusi FGD RPDAS Terpadu DAS Bribin ini dirumuskan berdasarkan:

1.    1. Aspek Biofisik
  • Konflik pemanfaatan lahan (penambangan) dan dari segi kemampuan lahan banyak keterbatasan (karst, kemiringan lahan terjal, lahan kering, dll
  • Daerah Semanu, Wonosari (400 ha) hampir rata-rata status kepemilikan lahan adalah tanah AB dimana di daerah tersebut terdapat program Hutan Rakyat dengan sistem tumpangsari, sehingga kendala yang dihadapi di DAS Bribin adalah bagaimana memperjelas status lahan antara lahan milik dengan lahan pemerintah
  • Di sebelah utara Gunungkidul (Ronjong, Rongkot) berpotensi adanya penambangan pasir dan hal ini berpengaruh terhadap jenis tanah.
  • Tercemarnya sumber daya air tanah akibat adanya limbah medis dari beberapa rumah sakit yang masuk ke DAS dengan munculnya bakteri E-Colli.
  • Tanah terdiri dari tanah karst (51%) yang ditambang
  • Eksploitasi pemanfaatan air belum diketahui efeknya karena irigasi banyak menggunakan sumur pompa (32 buah) yang berasal dari das Bribin dengan kecepatan 33 mm/ detik atau sejumlah 5 juta kubik selama 5 bulan.
  • 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan DAS Bribin mengalami kesulitan karena kemampuan lahan (kondisi fisik wilayah) yang lemah
2.  2. Aspek Sosial Ekonomi Budaya
  • saat ini industri perkayuan sudah mulai ada titik jenuh trend untuk tanaman Jati. Pasar dunia lebih menghendaki kayu yang ringan, murah dan cepat panen seperti Sengon.
  • Belum adanya ijin penambangan secara legal kepada 150 penambang di Gunungkidul
  • Dibutuhkan adanya pengelolaan biogass untuk menampung kotoran hewan ternak seperti Sapi dan Kambing, karena hampir semua kepala keluarga di daerah Gunungkidul memiliki hewan ternak ini
3.  3. Aspek Kelembagaan
  • Terkait dengan Hutan Rakyat, dari hasil pendampingan di lapangan tidak ada masalah yang berarti dalam menanam kayu-kayuan, karena masyarakat sudah bisa dikatakan sudah sadar dalam menanam tanaman (Jati)
  • Pedoman Tata Ruang kurang mendominasi daerah karst, belum adanya kejelasan secara legal dalam hal penutupan atau pembukaan kenampakan khusus yaitu sempadan Ponor (sink hole) atau liang yang terhubung dengan sistem aliran sungai bawah tanah
  • Adanya regulasi yang mendukung yaitu Perda Irigasi No.23 Tahun 2000 dan Perda Lahan yang berkelanjutan diharapkan mampu mendukung regulasi

Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen-komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang  dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Beberapa cara untuk mengurangi penebangan dan ketergantungan sumber daya air sebagai langkah menuju pengelolaan DAS terpadu di DAS Bribin yang perlu dipertimbangkan, seperti: 1) dikembangkannya fasilitasi usaha-usaha kecil menengah dalam pergerakannya di pertanian; 2) usaha ekonomi produktif (contoh: budidaya lele, lembaga ekonomi mikro), dan dikembangkannya potensi wisata seperti wisata Goa Pindul dan Semanu; 3) adanya pengelolaan biogass dari kotoran hewan ternak sapi dan kambing; 4) perlunya peraturan pengelolaan pembuangan limbah secara terpadu; 5) segera dilakukan dan diselesaikan kejelasan regulasi dalam penambangan dan masyarakat perlu diberikan penjelasan tentang untung ruginya penambangan; 6) penggalian peta potensi wilayah yang bisa/ tidak bisa untuk dilakukan penambangan yang dikonversikan dengan peta karakteristik DAS; 7) Pembinaan, sosialisasi, pengarahan kepada masyarakat dengan memberikan pemahaman pentingnya konservasi penanaman tanaman hutan yang ramah lingkungan dan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan yang dinamis. 

Diharapkan dengan kontribusi dari masing-masing stakeholder terkait dengan rencana pengelolaan DAS Terpadu di DAS Bribin, segala bentuk permasalahan yang ada di DAS Bribin dapat diidentifikasi sedetail mungkin dan data-data terkait dengan Pengelolaan DAS dapat dipersiapkan untuk persiapan langkah FGD RPDAS Terpadu DAS Bribin berikutnya.