Oleh: Lies Trianadewi, S.Sos, M.AP, M.Agr
(Pengendali Ekosistem Hutan-
Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo)
Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo)
Pendahuluan
Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara
110° 33′ 00″ dan 110° 13′ 00″ Bujur Timur, 7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang
Selatan. Letak Kabupaten Sleman ini
sebagian besar wilayahnya berada di hulu yang sangat
penting berfungsi sebagai daerah tangkapan air (kawasan resapan air) yaitu
daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan.
Namun, data statistik
Kabupaten Sleman menunjukkan terjadi konversi lahan pertanian cukup tinggi yang
diimbangi dengan pertambahan jumlah penduduk dan luas areal terbangun. Pada
tahun 1987 luas lahan pertanian sebesar 26.493 hektar dan pada tahun 2007 turun
menjadi 23.062 hektar. Kondisi tersebut berbeda dibandingkan dengan jumlah
penduduk yang terus mengalami peningkatan sebanyak 730.889 jiwa di tahun 1987
naik menjadi 1.026.767 jiwa di tahun 2007 (Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM,
2012).
Di sisi lain, wilayah Kabupaten Sleman ini terdapat 24.098,677 ha lahan
potensial kritis dan 145,376 ha lahan sangat kritis yang harus segera ditangani
(BP DAS SOP, 2009). Dan menurut Bupati Sleman, Sri Purnomo, situasi sejumlah
sungai di Sleman kini dalam kondisi pencemaran berat bahkan 20% kawasan resapan
air di Sleman juga hilang (21/06/2013).
Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo
bertanggungjawab dalam formulasi program rehabilitasi sumberdaya DAS untuk
perbaikan mutu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Program penanaman bambu
di Kabupaten Sleman merupakan salah satu kegiatan penting dalam pelaksanaan
tugas tersebut. Berdasarkan inventarisasi data tahun 2012, budidaya bambu di Sleman cukup luas
yaitu 528 ha dengan populasi 21.075 rumpun dan 733.545 batang. Adapun komposisi
bambu yang ada di Sleman tersebut adalah Petung 20%, Apus 35%, Ampel 30%,
Wulung 5%, dan Trutul, Cendani dan Kuning 15%.
Populasi dan
Produksi Tanaman Bambu di Kabupaten Sleman Tahun 2012
Kecamatan
|
Luas (Ha)
|
Populasi (rumpun)
|
Produksi (btg)
|
Keterangan
|
Pakem
|
50
|
1.525
|
181.200
|
Komposisi:
|
Berbah
|
25
|
1.160
|
61.250
|
Petung: 20%
|
Gamping
|
15
|
960
|
29.150
|
Apus: 35%
|
Cangkringan
|
70
|
1.000
|
133.550
|
Ampel: 30%
|
Prambanan
|
30
|
1.250
|
35.250
|
Wulung: 5%
|
Turi
|
40
|
1.080
|
78.750
|
Trutul, Cendani,
|
Minggir
|
30
|
1.160
|
35.150
|
dan Kuning: 15%
|
Moyudan
|
35
|
1.220
|
33.100
|
|
Seyegan
|
25
|
1.675
|
26.150
|
|
Tempel
|
35
|
1.270
|
15.150
|
|
Godean
|
25
|
1.520
|
19.500
|
|
Kalasan
|
30
|
1.600
|
16.750
|
|
Ngaglik
|
25
|
1.215
|
14.725
|
|
Ngemplak
|
33
|
1.640
|
11.200
|
|
Depok
|
10
|
400
|
5.120
|
|
Sleman
|
25
|
830
|
12.950
|
|
Mlati
|
25
|
1.570
|
24.600
|
|
Jumlah
|
528
|
21.075
|
733.545
|
Data: Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Kabupaten Sleman, 2012
Bambu sebagai hasil hutan
bukan kayu (HHBK) sangat potensial
untuk mensubstitusi kayu
bagi industri berbasis bahan baku
kayu. Bambu mempunyai prospek yang cukup menjanjikan untuk menekan kebutuhan kayu yang semakin
hari standing stock-nya semakin
berkurang di hutan. Pengurangan kayu
sebagai sumber bahan baku untuk industri berbasis bahan baku
kayu dapat meningkatkan kualitas kayu dan lingkungan hutan.
Selain berpotensi
sebagai bahan substitusi kayu,
penggunaan bambu tergolong ramah lingkungan karena ditanam sekali, dipanen berkali-kali
tanpa harus menghilangkan seluruh tegakan rumpunnya. Sumber bahan baku bambu
untuk industri berbasis bahan baku bambu tidak dapat mengandalkan dari bambu
rakyat dan bambu dari hutan alam.
Nilai Sosial Ekonomi dan Budaya Tanaman Bambu di Sleman
Bagi masyarakat di pedesaan yang selama ini
membudidayakan tanaman bambu memiliki anggapan bahwa tanaman bambu selain
sebagai barang ekonomis juga bernilai konservasi yang dapat mendukung ketahanan
ekonomi keluarga (investasi).
Data terakhir pada tahun 2010 dari Dinas
Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa
Sleman terdapat 15 sentral usaha industri kecil bambu dengan jumlah 1.759 unit
usaha kerajinan bambu yang terkonsentrasi di wilayah di Kecamatan Minggir,
Moyudan, Mlati, dan Godean. Industri ini menyerap 3.715 tenaga kerja dengan
nilai investasi lebih dari Rp.10 miliar dan nilai produksi sekitar Rp. 13
miliar.
Tidak hanya memenuhi pasar lokal, sebagian pengrajin juga
memenuhi permintaan ekspor ke berbagai negara seperti di negara Malaysia, Jepang,
Australia, dan Amerika. Dalam setahun, kebutuhan bambu rata-rata mencapai
817.860 batang, namun kapasitas produksi yang ada tidak mampu memenuhi
permintaan tersebut.
Produksi bambu di Sleman digunakan
untuk memenuhi berbagai keperluan, diantaranya: (1) kerajinan, (2) bahan
bangunan, (3) furnitur, (4) pangan, dan (5) upacara adat.
Bagi warga Sleman, menganyam bambu merupakan keterampilan
yang diwariskan turun menurun dan hingga kini masih dilestarikan. Dahulu warga
hanya membuat ‘ceting’/ tempat makan, namun sejak tahun 1991 warga Sleman
semakin serius menekuni kerajinan bambu. Dan lahirlah berbagai aneka kerajinan
bambu yang unik dan menarik seperti lampu, tempat tisu, suvenir, hiasan
dinding, dll.
‘Labuhan’
Merapi (Persembahan Merapi) merupakan upacara adat yang disakralkan masyarakat
Yogyakarta dan di sekitar Gunung Merapi yang terletak di Sleman. Pada upacara
ini bambu berperan untuk digunakan sebagai alat untuk tempat bunga
sesaji,membuat gunungan yang berasal dari hasil bumi seperti buah-buahan, sayur-sayuran
dll.
Beberapa
bagian dari tanaman bambu dapat dipergunakan untuk berbagai kebutuhan. Bahkan limbah
bambu yang biasanya hanya digunakan untuk bahan bakar, mulai tahun 2009
beberapa kelompok masyarakat yang berada di Sleman mengolah limbah bambu
tersebut menjadi arang yang mempunyai nilai ekonomi menggiurkan. Sebagai
contohnya adalah kelompok Omah Areng yang berada di dusun Kamal Kulon
Margomulyo Sayegan Sleman.
Bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada,semua
manfaat arang bambu sudah teruji secara ilmiah pada uji laboratorium.Arang
bambu tersebut bisa menetralkan bau ruangan, termasuk kamar mandi,
menghilangkan bau apek pada lemari pakaian, menetralisir bau pada kulkas,
menambah kandungan mineral pada air, membuat pulen nasi, menyerap bau rokok di dalam ruangan serta
mengurangi radiasi pada alat-alat elektronik seperti komputer dan televisi.
Peranan Budidaya Bambu di Sleman dalam Konservasi Lingkungan
Tanaman bambu ini secara umum sangat
efektif untuk reboisasi wilayah hutan terbuka atau gundul akibat penebangan
karena pertumbuhan rumpun bambu yang sangat cepat dan toleransinya terhadap
lingkungan sangat tinggi serta memiliki kemampuan memperbaiki sumber tangkapan
air sangat efektif. Sehingga pada pasca erupsi
Merapi 2010, penanaman pohon bambu dilakukan guna mendukung konservasi
lingkungan.
Disisi lain, masyarakat di sekitar gunung
Merapi tersebut mempunyai keyakinan bahwa apabila mendengar bunyi pohon bambu
pecah, hal tersebut merupakan pertanda batang pohon tidak kuat menahan beban
abu vulkanik, dan kondisi tersebut dapat dipastikan Gunung Merapi dalam keadaan
kritis dan awan panas atau yang sering disebut wedhus gembel siap meluncur.
Akar-akar bambu,
selain sebagai penahan erosi guna mencegah bahaya kebanjiran, juga dapat
berperan dalam menangani limbah beracun akibat keracunan merkuri dengan cara
menyaring air yang terkena limbah tersebut melalui serabut-serabut akarnya.
Selain itu, akar bambu juga mampu melakukan penampungan mata air sehingga
bermanfaat sebagai sumber penyediaan air sumur.
Peranan BP DAS Serayu Opak Progo Untuk Meningkatkan Budidaya Bambu di Sleman
Mulai tahun 2013, BP DAS Serayu Opak Progo (BP
DAS SOP) bekerjasama dengan dinas terkait di Sleman melaksanakan Pengembangan
Bambu seluas 30 hektar dengan pembuatan demplot di lahan milik masyarakat
melalui ekstensifikasi dan/atau intensifikasi. Dan melalui Rencana
Kerja dan Anggaran (RKA) Dinas Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan tahun 2014 telah dialokasikan pengembangan hutan rakyat bambu
sebanyak 15.000 batang. Selain itu, ruang lingkup peran BP DAS SOP dalam pengembangan
bambu tersebut meliputi (1) sosialisasi, inventarisasi dan perencanaan, (2) pengembangan
kelembagaan budidaya dan industri bambu melalui peningkatan SDM kelompok tani
hutan rakyat bambu, pengrajin bambu dan para pihak terkait, (3) pengembangan
industri dan penerapan teknologi pengolahan bambu dalam skala kecil, menengah
dan besar.
Dengan adanya inisiasi Gerakan
Kebangkitan Bambu Nusantara (GKBN) yang digelar pada pertemuan pertama di Taman
Wisata Candi Borobudur pada tanggal 6 Juni 2012, pertemuan tersebut disepakati
untuk menjadikan momen Hari Bambu Sedunia (World Bamboo Day) yang diperingati
setiap tanggal 18 September sebagai momentum awal dmulainya Gerakan Moral untuk
‘Kebangkitan Bambu Nusantara’. Bertitik tolak dari inisiasi GKBN tersebut, maka
BP DAS SOP sudah memiliki kerangka pikir untuk menyusun Roadmap pengembangan
bambu di wilayah fasilitasi BP DAS SOP termasuk di Sleman.
Untuk membawa ‘Roh’ Kebangkitan Bambu Wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta ke tingkat Nasional akan diselenggarakan Kongres
Nasional GKBN pada tahun 2013. Kongres ini diharapkan akan membangkitkan
semangat pengembangan bambu di luar DIY yang pada akhirnya bisa menuju pada
Kebangkitan Bambu Nusantara.
Penutup
Menilai hasil kegunaan
dan manfaat bambu di atas, bambu terbukti memiliki banyak keunggulan, manfaat
dan potensi yang sangat baik untuk dibudidayakan. Jika budidaya tanaman bambu
benar-benar diperhatikan, serta pemanfaatannya dimaksimalkan, akan mampu
mendongkrak nilai ekonomis bambu itu sendiri, sekaligus meningkatkan
penghasilan masyarakat pengguna bambu serta menambah devisa buat negara.
Edukasi bagi masyarakat dibutuhkan untuk
optimalisasi pemanfaatan bambu yaitu
dengan teknologi tinggi dan peningkatan keterampilan
pengrajin. Diharapkan dengan
adanya peran dari BP DAS SOP dan instansi terkait dalam pengembangan bambu tidak hanya berakhir
menjadi sebuah furniture, tetapi dapat dikembangkan menjadi produk
lain (misalnya pulp, kertas, papan serat, dan asap cair).
Dengan demikian peran bambu selain dapat untuk mendukung konservasi lingkungan,
bambu juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.***LTD***