Powered By Blogger

Monday, September 17, 2012


WARGA BABADAN KULON SIAP TANAM 50.000 BATANG POHON


Lokasi Pembibitan Kegiatan Kebun Bibit Rakyat (KBR)
di Desa Babadan, Kabupaten Banjarnegara
Jika tahun 2011, CBO Wanalestari dan CBO Wijayakusuma sudah mendapatkan kesempatan bantuan dari pemerintah untuk terlibat sebagai kelompok tani Kebun Bibit Rakyat (KBR), kali ini pada tahun 2012, CBO Sido Makmur dan CBO Tani Asri mendapatkan kesempatan tersebut. KBR merupakan program pemerintah (Kementerian Kehutanan RI) dalam hal pembibitan. Kegiatan KBR ini sendiri adalah bertujuan untuk memfasilitasi kelompok masyarakat atau petani yang ingin mengembangkan pembibitan, terutama diwilayah desanya. Kelompok pembibitan tersebut dapat memilih tanaman apa saja yang cocok (secara teknis) dan sangat diminati oleh masyarakat. Pembangunan KBR mulai dilaksanakan tahun 2010, dan sampai sekarang kegiatan tersebut masih berlanjut dilakukan dengan volume yang makin bertambah.

Salah satu lokasi KBR dan juga binaan Strengthening Community Based Forest Watershed Management (SCBFWM) yang berada di Desa Babadan, Kabupaten Banjarnegara telah menarik perhatian tim Project Management Unit (PMU) dari Kementerian Kehutanan dalam rangkaian kunjungan Bimbingan Teknis pada tanggal 1-2 Agustus 2012. Hal menarik tersebut adalah bahwa selama pelaksanaan KBR tahun 2012 ini, CBO Sido Makmur sudah mengawali kegiatan untuk persiapan tahap persemaian dan menyiapkan benih untuk pembibitan. Dengan dikerjakan kurang lebih 1 bulan lamanya (Juni, 2012), mereka sudah menata rapi polibag-polibag dan sudah diisi tanah. Terlebih, mereka juga menggunakan tutup plastik untuk mengurangi panas.

Bersama dengan warga desa, mereka sudah mempersiapkan 70.000 polibag dari 50.000 polibag dari target program KBR tersebut. Diatas lahan milik desa Babatan Kulon seluas 0,1 ha, jenis tanaman yang akan dikembangkan adalah Albacia dan akan ditanam di wilayah desa Babatan Kulon.

Kegiatan penanaman pohon ini tentunya tidak hanya akan berhenti sekedar menanam, diharapkan juga dilakukan pemeliharaan, kunjungan periodik yang dilakukan oleh pemerintah, maupun bantuan dari pihak lain untuk mendukung seluruh warga baik dari sisi teknis maupun semangat kinerja dalam pelestarian lingkungan seperti yang sudah dilakukan SCBFWM selama ini.***bagian dari Bulletin SCBFWM Vol.III No.3 September 2012


PP No.37/2012 Sebagai Alat Pengikat Stakeholder

Banjarnegara – Dalam rangka mendukung program pemerintah tentang pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai (DAS), Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo bekerjasama dengan proyek penguatan pengelolaan hutan dan DAS (Strengthening Community Based Forest and Watershed Management – SCBFWM), pada tanggal 19-20 Juni 2012 mengadakan Workshop Implementasi Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012 dalam rangka Pengelolaan DAS Terpadu. Workshop yang dilaksanakan di Hotel Surya Yudha Banjarnegara ini bertujuan sebagai upaya sosialisasi pemahaman akan pelaksanaan PP No.37/2012 untuk mensinergikan rencana pengelolaan DAS dengan rencana kerja dan kegiatan stakeholder.
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS, Dr. Eka W. Soegiri, MM., dalam sambutan pembukaan memaparkan tentang Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS yang telah disahkan pada 1 Maret 2012, peraturan ini hendaknya dijadikan panduan dan dasar hukum dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan DAS Terpadu berbasis masyarakat.
Usai pembukaan, acara yang di hadiri oleh 50 peserta dari berbagai sektor terkait ini membahas implementasi  rencana pengelolaan hutan dan DAS. Dr. Ir. Michael Riwu Kaho, Ketua Forum DAS NTT, berbagi pengalamannya di lapangan dalam penyusunan Peraturan Daerah (Perda) dalam pengelolaan DAS dan Forum DAS di NTT. ForDAS yang terus berkembang dan pada tahun 2008, berdasarkan ketentuan dalam Perda NTT No. 5 tahun 2008 tentang Pengelolaan DAS Terpadu, lembaga ForDAS dinyatakan sebagai lembaga yang membantu gubernur dalam pengelolaan DAS di NTT. Sehingga, NTT dinilai paling cepat menyelesaikan Perdanya dimana juga sudah dilakukan pengelolaannya dan telah mendapatkan penghargaan dari Menteri Kehutanaan RI atas prestasinya tersebut. Beliau beropini bahwa apabila Fordas yang berada di Jawa Tengah berisikan anggota pejabat semua akan sulit untuk maju. Di NTT sendiri terdapat 2 tim yaitu 1 tim pengarah para bintang-bintang kebijakan umum dan tim lainnya adalah pada level pelaksanaan.
Prof. Dr. Totok Gunawan dari Fakultas Geografi UGM juga memaparkan bahwa dalam rangka penyusunan Perda pengelolaan DAS, pertama kali yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi isu-isu kerusakan DAS. Kemudian di setiap Sub DAS diklarifikasi mana DAS yang dipertahankan dan mana yang dipulihkan. Semuanya diinventaris kerusakannya. Sehingga seluruh sektor memiliki kewenangan masing-masing dalam pengelolaan DAS tersebut.
Workshop kali ini juga telah dihadiri Wakil Bupati Kab. Banjarnegara, Hadi Supeno, mengungkapkan bahwa dalam pengelolaan DAS perlu melihat 3 hal yaitu keberlanjutan DAS sendiri, keberlanjutan sosial ekonomi dan keberlanjutan aspek lingkungan. Fokus yang diatur adalah fisik DAS sendiri dan manusianya serta harus ada reward dan punishment. “Selama belum yakin, maka untuk gerakan penanaman akan banyak kendala. Walaupun masih dibantah, hambatan terbesar dari penghjiauan adalah belum ditemukan tanaman alternatif yang setara minimal kentang”, ujarnya.
Inti dari PP No.37/2012 ini mengajak kita agar kita bisa melihat daya dukung DAS sesuai klasifikasi DAS yang ada. Peran serta masyarakat bisa perorangan maupun melalui forum koordinasi untuk mendukung keterpaduan. Apabila pembangunan DAS bisa berjalan dengan baik dengan didasari oleh semangat konservasi baik dari masyarakat ataupun seluruh stakeholder terkait, tak lama lagi PP dimaksud dapat eksis dan dijadikan acuan pengelolaan DAS yang sistematis, terukur dan terpadu di Kab. Banjarnegara khususnya dan di Indonesia umumnya. ***