Powered By Blogger

Saturday, May 11, 2013

Go Green Galau Series


DESA PEKASIRAN DALAM 3G

(Go Green Galau)

-Sebuah Upaya Konservasi Dieng-

(dipublikasikan di Bulletin DUTA DAS
Vol.III No. Desember 2012)



Oleh:
Lies Trianadewi, S.Sos, M.AP, M.Agr[1]

Sekelumit Sejarah Desa Pekasiran, Kabupaten Banjarnegara
Pada tahun 2003, merupakan tahun tergugahnya hati petani di daerah Dieng. Hal ini disebabkan karena adanya dukungan dan kerjasama dengan LSM BIN (Temanggung), Alas (Semarang), Kembangmas (Banjarnegara), dan LSM lain yang membentuk event Perencanaan Desa dengan membentuk wadah Mitra Dieng. Wadah ini mempunyai tujuan utama yaitu penyelamatan Dieng. Tujuan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa alam adalah titipan anak cucu yang harus terus dilestarikan dan telah disadari bahwa kondisi yang ada saat ini tidak seperti dulu lagi, sekitar 200 ha lahan pertanian di daerah Dieng telah hancur. Hal ini dibuktikan dengan adanya kelangkaan hewan seperti Belibis, Elang Jawa, dan kelangkaan tanaman obat (Dlingo) yang berada di daerah Telaga Sidringo. Akibat adanya kerusakan hutan dan lahan atau adanya penyusutan akibat tanaman kentang yang tidak menghiraukan konservasi lahan, masyarakat memberikan perhatian terhadap perubahan yang telah terjadi. Dengan bekerjasama dinas pemerintah setempat, masyarakat Dieng membentuk organisasi cinta lingkungan, adanya densus besar-besaran seperti PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), dan dibentuk LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Cemeti Alam Lestari. Namun LMDH Cemeti Alam Lestari ini lebih berfokus pada kelompok tani holtikultura/sayuran dan hanya mengutamakan peningkatan kebutuhan ekonomi sehingga tidak menghiraukan kondisi lingkungan sekitar. Kecenderungan ini membuat tingkat komunikasi antar petani menjadi rendah. Dengan demikian, mampukah pihak-pihak tersebut menyelamatkan daerah Dieng khususnya desa Pekasiran atau mereka terhanyut dalam sebuah konsep Go Green Galau (3G)[2]?

Stimulus pendorong dan pengendali sikap masyarakat desa Pekasiran dalam melakukan konservasi

Pengertian ‘Stimulus’ adalah ‘sinyal’, ‘fenomena’, dan ‘informasi’. Stimulus yang diperlihatkan masyarakat desa Pekasiran dapat dipahami dan menjadi pendorong atau perangsang masyarakat untuk bersikap dan berperilaku konservasi. Stimulus yang harus menjadi pendorong untuk sikap dan aksi konservasi adalah 3 kelompok stimulus pro-konservasi, yaitu “Alamiah”, “MAnfaat dan “Religius(tri stimulus AMAR pro-konservasi) yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai: “kebenaran”, “kepentingan” dan “kebaikan”. Stimulus Alamiah terutama berkaitan dengan kelangkaan, karakteristik populasi dan regenerasi; stimulus Manfaat berkaitan dengan ekonomi; dan stimulus Religius berkaitan dengan nilai-nilai kerelaan berkorban, spiritual, etika dan norma-norma.

Sedangkan menurut Rosenberg dan Hovland (1960), sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), kesediaan bereaksi atau berbuat terhadap sesuatu hal dalam masyarakat,  menunjukkan  bentuk,  arah,  dan  sifat  yang merupakan  dorongan,  respon  dan  refleksi  dari  stimulus. Sikap konservasi itu sendiri meliputi sikap cognitive (persepsi, pengetahuann, pengalaman, pandangan, keyakinan), affective (emosi, senang-benci, dendam, sayang, cinta dll), dan overt actions (kecenderungan bertindak). Gambar 1 menggambarkan ketiga kelompok stimulus alamiah, manfaat, dan religius yang harus mengkristal menjadi satu kesatuan stimulus kuat (evoking stimulus) sebagai penggerak dan pendorong sikap untuk aksi konservasi hutan.

Kristalisasi atau resultant atau paduan dari nilai-nilai alamiah, manfaat dan religius inilah yang dapat menjadi penggerak, penyeimbang dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang berkelanjutan secara kongkrit menuju sebuah gerakan back to basic kesadaran lingkungan (Go Green).  Selama ini nilai yang dominan dalam pengelolaan hutan di desa Pekasiran adalah nilai ‘penting’ atau stimulus Manfaat, mengabaikan nilai-nilai ‘benar’ dan ‘baik’, yaitu praktek mengabaikan nilai-nilai berkaitan dengan nilai alamiah (bioekologi) dan nilai religius/spriritual (moral). Berdasarkan fakta di lapangan, penanaman kentang di kawasan Dieng sebagai wujud pendekatan “pelarangan” dan “perlindungan” yang lazim dipakai selama dalam mengelola kawasan Dieng cenderung mengakibatkan konflik-konflik sumberdaya tidak terelakkan, terutama dengan masyarakat lokal yang pada akhirnya mengakibatkan bencana tanah longsor pada akhir Desember 2011 lalu. Hal ini disebabkan adanya nilai-nilai ekonomis yang ingin dipertahankan masyarakat desa Pekasiran dan mereka percaya apabila tebing untuk lahan kentang ditanami pohon tahunan (bukan pohon musiman) maka produksi kentang akan menurun. Padahal mereka mengandalkan hasil panen kentang guna menopang kehidupan. Akibatnya, setiap ada upaya reboisasi oleh lembaga apapun, pada awalnya mereka menyilahkan lahan kentang ditanami benih pohon tahunan. Tetapi ketika pohon-pohon itu tumbuh besar beberapa bulan kemudian, petani menebangnya karena dianggap mengganggu produksi panen kentangnya.

Oleh sebab itu, sikap upaya konservasi masyarakat Dieng khususnya desa Pekasiran ini baru terlihat pada awal tahun 2012. Desa Pekasiran yang memiliki kepala desa baru, M. Fadluloh, membawa visi misi baru dalam pelestarian lingkungan di sekitar desa Pekasiran dengan target khusus yaitu penanaman pohon sejumlah 12.500 batang per tahunnya dengan membentuk kelompok masyarakat berbasis lingkungan yaitu Kelompok Penyelamat Lingkungan/ KPL Wanalestari. KPL Wanalestari sendiri dianggap sebagai kegiatan baru namun orang-orang yang terlibat didalamnya digerakkan oleh orang-orang lama yang sudah berpengalaman dalam konservasi lingkungan. KPL Wanalestari yang disahkan oleh Kepala Desa No.141/01/2012 ini tidak berbasis pada kelompok tani holtikultura seperti sebelumnya namun sebagai kelompok tani yang berbasis lingkungan konservatif. Adapun agenda program yang akan dilakukan diantaranya adalah pengkayaan bibit, melakukan model sistem plasma (perluasan usaha) dengan target di satu desa Pekasiran, dan studi pengalengan Eucalyptus (untuk pembuatan kerangka rumah dan daun jendela).

Namun, sinyal kelangkaan (kondisi populasi) tersebut belum menjadi stimulus Alamiah dan menimbulkan kegalauan bagi sikap masyarakat desa Pekasiran maupun bagi sikap pengelola terhadap aksi konservasi. Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa sumber daya air di Dataran Tinggi Dieng tidak dapat digunakan lagi karena rasanya yang masam, berwarna keruh, dan mengandung Bakteri E.coly. Hal ini disebabkan karena petani Dataran Tinggi Dieng masih menggunakan pupuk kimia dan pupuk fermentasi yang berlebihan. Padahal penggunaan pupuk kimia dan pupuk fermentasi yang berlebihan dapat menyebabkan musnahnya mikroorganisme tanah. Seperti kita ketahui, mikroorganisme tanah berfungsi menguraikan zat-zat yang ada didalam tanah menjadi unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan.

Sedangkan stimulus yang lain yaitu stimulus Religius sangat berpengaruh dalam mendorong sikap konservasi dalam masyarakat adat atau masyarakat tradisional. Secara empiris dalam kehidupan masyarakat desa Pekasiran sebagai masyarakat tradisional, stimulus religius terbukti kurang efektif mendorong sikap masyarakat untuk rela berkorban bagi konservasi hutan. Bukti empiris ini contohnya dapat dilihat pada sikap dan kerelaan berkorban untuk konservasi hutan yang dilakukan oleh Kyai/ Ustadz di desa Pekasiran yang masih berpersepsi bahwa bencana itu adalah takdir. Masyarakat sekitar pun berpendapat bahwa bencana merupakan kehendak dari Tuhan dan manusia tidak akan mampu mencegahnya.[3] Pendapat seperti itulah yang mempersulit bagi tiap insan yang peduli dan yang ingin berupaya menanggulangi resiko di wilayah rawan bencana. 

Penutup

Penyelesaian akar permasalahan konservasi atau pengelolaan hutan lestari adalah membangun sikap dan perilaku, mulai dari grass-root masyarakat sampai pemerintah dengan kuantum tri-stimulus AMAR pro-konservasi. Hal ini merupakan alat (tool) dan pintu masuk untuk perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pemerintah di semua aspek, termasuk merevisi peraturan/perundangan yang tidak mendukung atau bertentangan dengan pro-konservasi.

Kristalisasi stimulus alamiah, manfaat dan religius seharusnya menjadi sikap dan perilaku masyarakat desa Pekasiran sebagai prasyarat terwujudnya konservasi. Namun, konservasi di masyarakat desa Pekasiran  gagal  karena  terjadi  ketidak-sejalanan  antara  stimulus  dengan  sikap dan aksi konservasi  masyarakat atau dengan kata lain kegalauan masyarakat desa Pekasiran dalam mewujudkan konsep Go Green. Stimulus  yang  terkait  kuat  (evoking  stimulus) dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola selama ini adalah stimulus  manfaat  ekonomi. Tetapi  stimulus  ini tidak menjadi  pendorong  bagi  sikap  dan  aksi  konservasi masyarakat di lapangan. Apabila kelompok masyarakat di desa Pekasiran tersebut tidak menangkap atau tidak memahami stimulus alamiah dan stimulus religius, tetapi menyikapi positif stimulus manfaat ekonomi, maka kelompok masyarakat tersebut akan menjadi kelompok pecundang (free rider) yang dapat mengancam bagi keberlanjutan konservasi sumberdaya hayati tersebut.
 
Konsep religius tentang masalah lingkungan sangat efektif meluruskan pandangan, pola pikir, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan dengan aturan-aturan dan dasar-dasar akhlak mulia. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang selayaknya kita jadikan dan tumbuh-kembangkan sebagai stimulus utama dalam melakukan keberlanjutan konservasi alam hayati dan lingkungan khususnya konservasi di masyarakat desa Pekasiran, Dieng, di masa kini dan mendatang.

Daftar Pustaka
Amzu, Efrizal, dkk. 2007. Community’s Attitudes and Conservation: An Alaysis of Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.), Stimulus of Medicinal Plant for the Community, Case in Meru Betiri National Park. Media Konservasi Vol. XII, No. April 2007:22-32.
Zuhud, Ervizal. 2008. Mengembangkan Multisistem Silvikultur dengan Pendekatan Holistik Tri-Stimulus AMAR (Alamiah, Manfaat, Religius) Pro-Konservasi. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi.
Rohman, Abdul. 2012. Menuju Takdir yang Lebih Baik. Harian Suara Merdeka, Selasa 24 Januari 2012.



[1] Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) pada Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo, Kementerian Kehutanan.
[2] Go Green Galau (3G) adalah sebuah konsep gerakan ‘back to basic’ terhadap kesadaran lingkungan yang belum dipahami oleh masyarakat akan pentingnya penyelamatan lingkungan dalam peningkatan kewaspadaan lingkungan.
[3] Suara Merdeka, 24 Januari 2012, “Menuju Takdir yang Lebih Baik” oleh Abdul Rohman.

No comments:

Post a Comment